Post Top Ad

Rabu, 29 Desember 2021

PENJARAHAN ARTEFAK NUSANTARA


Nusantara memiliki kekayaan luar biasa dalam bidang arkeologi. Indikator utamanya berupa keberadaan candi, situs di berbagai wilayah, dan temuan aneka fosil di Sangiran menunjukkan dengan jelas banyaknya temuan arkeologi di Indonesia. Di luar itu diyakini masih banyak peninggalan masa silam yang belum ditemukan, entah masih terkubur di dalam tanah atau terbenam di dasar lautan. Kepemilikan artefak negeri ini akan kian bertambah banyak jika kita menghitung benda peninggalan sejarah Indonesia yang kini ada di tangan negara lain. Sama halnya dengan sumber daya alam kita yang menggiurkan minat negara asing, koleksi artefak kita pun juga terbilang menarik untuk dicuri.

 

Banyak koleksi prasasti kerajaan di Nusantara tersebar ke berbagai museum seperti Tropenmuseum, Maritiem Museum, Rijksmuseum Voor Volkenkunde, dan RMV (Belanda), British Library dan Lord Minto House (Inggris), Museum Fur Asiatische Kunst dan Museum Fur Volkerkunde (Jerman), Indian Museum (India), serta The Royal Libarary (Denmark). Benda-benda peninggalan sejarah kita bisa sampai ke sana itu bukan karena pertukaran koleksi.

 

Negara asing banyak memiliki artefak Indonesia setidaknya lewat dua cara yakni mengambilnya saat masa penjajahan dan mendapatkannya lewat “jalur belakang”, melalui tangan-tangan jahat hingga bisa sampai ke museum mancanegara sekian banyaknya artefak-artefak Nusantara itu. Riwayat pencurian artefak di Indonesia jika dituliskan dengan detil akan sangat panjang daftarnya. Kisah-kisahnya sangat menyedihkan, miris, memprihatinkan, membuat kita marah dan kecewa. Tak percaya? Mari kita simak beberapa penjelasan berikut.

 

Thomas Stamford Raffles, tokoh kolonialis dari Inggris yang kerap dipuja karena peninggalannya seperti Kebun Raya Bogor, bunga Rafflesia Arnoldi, dan buku History of Java, dapat dimasukkan sebagai salah satu tokoh pencuri artefak yang levelnya keterlaluan. Raffles yang berkuasa di Nusantara selama lima tahun ini sukses mencuri ribuan benda bersejarah koleksi Keraton Yogyakarta. Peter Carey dalam buku Kuasa Ramalan bilang kalau penjarahan harta Keraton berjalan selama lebih dari empat hari penuh dengan diangkut menggunakan via pedati dan mempekerjakan tenaga kuli panggul. Para pangeran dan abdi dalem pun tak luput dipaksa menjadi tenaga pengangkut. Koleksi senjata, wayang, gamelan, arsip, dan naskah kuno amblas dicuri pasukan Inggris.

 

Buku berjudul Raffles dan Invasi Inggris ke Jawa karya Tim Hannigan juga menegaskan hal yang sama. Aksi perampokan yang juga dikomandoi oleh Robert Rollo Gillespie dan John Crawfurd ini dapat disebut sebagai pencurian akademis besar-besaran. Andai saja benda-benda itu kini masih di Jogja, tentu dapat digunakan untuk kepentingan pembelajaran sejarah dan memperkaya wawasan melalui program kunjungan ke Keraton. Yang lebih parah adalah, saat itu prajurit Inggris juga mengeruk parit, memeriksa bangunan sumur, hingga membongkar lantai demi memastikan tidak ada harta karun yang lolos dari penjarahan. Keterlaluan pasukan Inggri itu.

 

Tidak berhenti sampai di Keraton saja, Raffles juga menjarah artefak di wilayah lain. Prasasti Sangguran yang notabene adalah peninggalan era Mataram Kuno, ia bawa ke Inggris. Kondisinya kini teronggok di halaman rumah keturunan Lord Minto, bosnya Raffles. Raffles juga menjarah Prasasti Pucangan era Airlangga yang dibawa ke India. Kabarnya artefak curian itu kini disimpan dalam gudang museum di Kalkuta dengan keadaan kurang terawat.

 

Penjarahan artefak juga dilakukan oleh masyarakat kita sendiri. Bukti termudahnya adalah pencurian koleksi Museum Radya Pustaka dan Museum Sonobudoyo yang hingga kini tidak berakhir jelas. Padahal artefak yang dicuri terbilang luar biasa. Kedua kasus yang tenar di zamannya tersebut telah lama berlalu namun hingga detik ini, belum juga ditemukan penyelesaiannya. Lambang Babar Purnomo selaku arkeolog sekaligus figur kunci yang terlibat dalam menguak kasus di Radya Pustaka itu tewas mengenaskan di Ring Road Utara Jogja pada awal 2008. Diduga kematiannya berkaitan erat dengan kasus yang sedang dikerjakannya itu. Kedua kasus tersebut dapat dikategorikan kasus misterius dan mencurigakan.

 

Contoh lain soal pencurian benda-benda artefak adalah pada raibnya sekitar 500 koleksi artefak di Museum Sulawesi Tenggara. Beberapa pekan sebelumnya artefak yang terdapat di situs makam Pangeran Gagak Baning juga dikabarkan hilang.

 

Penjagaan, perawatan, dan pelestarian artefak-artefak Nusantara menjadi Pekerjaan Rumah seluruh masayarakat. Jangan sampai terjadi lagi kasus-kasus pencurian artefak. Jika bukan kita, masyarakat Indonesia, siapa lagi yang akan menghargai sejarah kita.

***

 

Desember 29, 2021 / by / 0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad